Kerja sekecil apapun jika dilakukan dengan sungguh-sungguh, percayalah, ia akan menghasilkan dampak yang sangat besar.

Selasa, 31 Januari 2012

Perjalanan Bersama Suami Orang

Entah itu kebersamaan yang keberapa kali. Saking seringnya, tak lagi dapat kuhitung.

Aku tidak ingat betul kapan kami mulai saling mengenal, tapi yang jelas dia sudah punya posisi tersendiri di hatiku yang rasanya tak mungkin akan tergantikan oleh orang lain. Siapa dia? Itu mungkin yang ingin kau tanyakan bukan? Dia adalah 'suami orang'. Ya, aku rasa sebutan itu cocok untuknya, karena faktanya dia memang sudah menikah dengan seorang wanita, dan kau perlu tau bahwa wanita itu bukan diriku. Jadi, tidak salah bukan jika kusebut ia sebagai 'suami orang'? Usia kami memang terpaut cukup jauh, dia sudah 42 tahun sedangkan aku, baru 22 tahun.

Hari itu, tepat 9 Dzulhijah, artinya sehari sebelum hari raya terbesar kedua bagi umat Muslim, kami membuat janji untuk bertemu. Kami memang dipisahkan ruang, dia berada di Kota Kembang, aku di Kota Nanas, dan hari itu kami bersepakat untuk mengunjungi Kota Santri.



Selepas rapi urusan di sekolah tempatku mengajar, aku langsung berkemas untuk selanjutnya menuju ke Kota Kembang, menemuinya. Tentu saja tak lupa kukabari padanya bahwa aku siap berangkat. Dia berpesan agar aku berhati-hati dan dia juga memberi kabar bahwa di Kota Kembang Hujan deras. Di akhir pesannya, dia menuliskan,
"Neng, Akang nitip dibelikan nanas ya!"
Kujawab, "Tumben amat minta dibawakan nanas? Berapa banyak Kang?"
"Semampunya Neng bawa aja."
"Oke deh!", jawabku.
Di tengah perjalananku, hujan turun dengan sangat deras. Hal ini membuat perjalananku sedikit lambat. Karenanya, bisa dipastikan bahwa jam kedatangankupun mundur dari jam perkiraan sebelumnya.

Sepanjang perjalananku, hampir setiap 15 menit sekali dia menghubungi ponselku, via SMS. Protektif sekali, pikirku. Tapi tak urung kunikmati juga perhatian itu. Jarang-jarang diperhatikan suami orang. Inilah yang aku suka darinya; perhatiannya, kekhawatirannya padaku, sehingga kadang mambuat aku lupa bhwa dia adalah suami orang.

“Dah nyampe mana, Neng?"
"Baru turun dari angkot, Kang. Sekarng mau naik elf."

Panggilan 'neng' dan 'kang' biasa kami gunakan untuk memanggil satu sama lain. Romantis bukan? Percakapan via SMS macam itulah yang menemani perjalananku sore itu. Jika SMSnya tak segera kubalas, maka dia akan meneleponku. Tak masalah, karena selain tidur, hal yang biasa kulakukan dalam sebuah perjalanan adalah ber-SMS atau bertelepon ria. Bukannya tidak ingin membaca buku atau mengaji Qur'an, tapi bisa jadi karena mata minusku, aku selalu merasa pusing ketika melakukannya.

Di tengah perjalanan, aku teringat pesanannya yang memang belum kubelikan. Di tempat tinggalku tidak ada penjual nanas, adanya di tempat yang akan kulalui, sehingga mengharuskanku turun dulu dari kendaraan. Tapi melihat cuaca, sepertinya tidak mendukung jika aku turun. Aku berharap semoga hujan segera reda, sehingga di tempat berjualan nanas nanti aku bisa turun dulu.
Tiba-tiba aku diserang kantuk yang luar biasa, sampai akhirnya aku tertidur.
Ketika terjaga, betapa kagetnya aku, kios-kios buah yang biasa menjual pesanannya sudash terlewat jauh. Ya, kini aku sudah hampir sampai di terminal tempatku akan berhenti. Meski aku yakin dia tidak akan mempermasalahkannya, tapi aku benar-menar ingin menyenangkan hatinya meskipun hanya dengan sebuah layanan sederhana. Tapi sekeras apapun aku berpikir, aku tak menemukan jalan keluar. Akhirnya aku menyerah. Segera kustop sebuah angkot dan aku naik ke dalamnya. Belum seberapa jauh angkot melaju, kulihat sebuah kios nanas. Kau tentu tahum betapa bahagianya aku melihat deretan kios itu. Saat itu aku benar-benar merasa bahwa pertolongan Allah itu sangat dekat. Tapi saat itu juga aku merasa kasihan pada diriku yang pelupa ini, bagaimana aku bisa lupa bahwa di sana terdapat kios-kios pedagang nanas, padahal hampir empat tahun aku ada di sekitar itu. Kios-kios itu memang berdiri di kampusku ketika masih jadi mahasiswa dulu.
Segera kuminta berhenti pada sopir angkot. Aku turun dan langsung menghampiri deretan kios nanas itu.
“Mangga neng, mau beli yang mana?”, tanya penjaga kios dengan ramah.
Pikiranku langsung teringat pada pesannya, “semampunya Neng bawa aja”.
Aku tersenyum sendiri, tentu ia tak tega melihatku tertatih-tatuh membawa banyak nanas kalau ia  memesan dlalm jumlah banyak. Segera kupilih nanas-nanas yang menurutku bagus. Ternyata aku memang hanya kuat membawa lima buah saja.
Seusai transaksi selesai aku kembali menyetop angkot. Dan saat itu aku baru sadar bahwa aku belum tau alamat yang akan kutuju. Segera kuarogoh ponsel di kantong jaketku. Baru saja hendak mengetik SMS, dia ternyata mmemanggil,
“Ya Kang?”
“Dimana Neng?”
“Baru naek angkot”
“Lama amat? Kenapa?”, kulirik jam di tanganku, ternya memng hampir magrib.
“Hujan Kang, jadi lambat. Kang, Neng  turun di mana? Kan belum tau”
“Bilang aja ke supirnya turun di ......” dia amenyebutkan sebuah tempat.
“Ok deeeh. Tungguin ya!”, ucapku manja.
“Nya. Hati-hati, kalo dah nyampe SMS!”
“Sip!”.
Klik. Obrolan terhenti. Segera kusampaikan alamat yang tadi disebutkannya pada sopir angkot. Alhamdulillah, sopir angkot tersebut rupanya sudah cukup mengenal daerah itu.

Sesamapainya di tempat yang dimaksud, segera kukirim SMS padanya. Lalu aku menunggu sambil duduk. Tak lama kemudian aku lihat dia datang, lengkap dengan senyum khasnya.
“Yuk!”, ucapnya
Tak banyak yang ia ucapkan, mungkin dia mengerti kondisiku yang lumayan lelah. Dia mengambil alih bawaanku dan berjalan masuk. Aku menguntitnya di belakang. Hmmmm... aku jadi teringat adegan seorang suami ketika menjemput istrinya setelah pulang dari suatu tempat yang biasa ada di film atau sinetron. Lagi-lagi aku tersenyum di belakangnya. Mungkin ini juga yang ia lakukan pada istrinya?
Sesampainya di ruangannya, dia segera bertanya.
“Dah makan?”
“Tadi shaum, tapi udah ta’jil.” Lagi-lagi dia tersenyum.
Segera ia menuangkan air dan menyodorkannya padaku. Aku tersenyum dan meraih gelas dari tangannya. Segera kuminum dan kuhabiskan air di gelas itu. Ketika sedang meneguk, sempat kulirik dia, ternyata dia sedang menatapku lekat sekali.
“Solat aja dulu, sekalian dijamak sama isya, tuh di sana.” Ia menunjuk sebuah mushola. Segera kulepas sepatu dan kaos kakiku yang basah. Kemudian kulihat dia berjalan entah ke mana.

Selesai shalat, aku kembali ke ruangan tadi. Di sana kulihat dua porsi nasi lengkap dengan lauknya.
“Yuk ah makan dulu, anis ini langsung berangkat”.
Tiba-tiba aku teringat pada pesanannya,
“Oia, ini pesanan Akang”, kataku sambil menyodorkan plastik yang beisi nanas. Dia menerimanya.
“Beli berapa?” katanya sambil tersenyum dan mengintip ke dalam plastik tersebut.
“Cuma lima, berat sih.”
“Makasih ya.”
Setalah itu kami langsung makan malam, dan bersiap untuk segera menuju ke kota tujuan kami. Setelah semua rapi, kami langsung berangkat. Saat itu waktu menunjukkan jam 19.30. kami menaiki sebuah angkot menuju terminal. Sesamapainya di sana, kami mencari kendaraan. Akhirnya kami memilih BIS BUDIMAN BANDUNG-PANGANDARAN kelas eksekutive. Belum banyak penumpangnya. Sehingga kami leluasa memilih tempat duduk. Di amemilih satu tempat tepat di tengah. Dia mempersilakan aku duduk di dekat jendela, kemudian dia menyususlnya di sampingku. Di luar sana gema takbir mulai terdengar.
“Wah, takbiran di jalan nih. Paling nyampe jam 01.00-an. Turun dari bis kita naik ojeg aja, biar cepet tapi kalau masih ada angkot ya ga apaapa anaika nagkot juga biat hemat. Soalnya ongkos angkot 10 kali lipat ongkos angkot.” Katanya memaparkan rencana. Aku mengiyakan saja, karena memang tidak tau-menau soal rute perjalannya.
Ternyata malam ini bis kelas eksekutive itu penuh sekali, bahkan sampai ada yang berdiri. Mungkin para penumpang itu berpikiraan sama dengan kami, lebih enak menempuh perjalanan malam.
Setelah bis penuh, perlahan ia mulai bergerak meninggalkan terminal. Kami sendiri larut dalam obrolan hangat dari mulai soal kabar masing-masing, pekerjaan masing-masning bahkan sampai kepada hal-hal yang menyangkut beberapa kenalan kami. Memnag cukup lama kami tidak bertemu, sekitar dua bulan lamanya.
Menjelang pukul 22.00, pejalanan terjebak macet yang cukup panjang. Bersamaan dengan itu aku kembali diserang kantuk.
“Kalau ngantuk, tidur aja, nyantai aja, masih jauh kok.”
“Biasanya ada bantal ya?” gumamku. Tiba-tiba dia membuka sleting tasnya dan mengeluarkan sebuah sweater biru.
“Pakai ini aja!”
Aku menerimanya sambil tersenyum. Dan kupasang sweater itu untuk mengganjal kepalaku. Rupanya sweater tersebut tak mampu menyamankan tidurku, sehingga berkali-kali aku mengubah posisi tidurku. Dia melirikku dan bertantanya,
“Kenapa?”
“Gak enak.”
“Ke sini aja,” katanya sambil menepuk pundaknya. Akupun menyandarkan kepalaku ke pundaknya. Hmmm.... lumyan nyaman. Dia kembali menatap lurus ke depan. Kemudian sepertinya aku terlelap, karena setelah itu tak banyak yang kuingat.

Aku yang sedang lelap tertidur tiba-tiba terjaga ketika mendengar beberapa suara menjerit. Kurasakan tubuhku oleng, pusing.
“Ada apa???” ucapku tegang sambil memegang erat lengannya. Saat itu kurasakan bis yang kutumpangi diam.
Kulihat wajahnya juga tegang. Perlahan suasana kembali normal, dan bispun melaju seperti biasanya. Setelah itu, barulah dia bicara,
“itu, tadi hampir tabrakan. Untung bis ini segera menepi, kalau gak......”
Aku bergidik membayang kalau sampai...... Aku beristigfar berkali-kali.
Sejak itu aku tidak dapat lagi memejamkan mata. Malah sebaliknya, kulihat matanya mulai sayu. Dan tiba-tiba kepalanya jatuh di pundakku. Yah, giliran deh pikirku. Kulirik jam tanganku, menunjuk jam 23. 47.

Pukul 00.12 kami tiba di terminal Tasik. Dinginnya udara dini hari langsung menyambut ketika kami turun. Suara takbir bersahutan dari tiap penjuru. Suasana kota Tasik dini hari ternyata masih cukup ramai, mungkin karena imalam itu adalah malam Hari raya sehingga denyut kehidupan masih ada walaupun malam hampir meninggal.
Di tepian jalan kulihat orang-orang masih beraktivitas, ada pedagang, sopir angkot yang mencari penumpang, bahkan ada juga yang hanya berkumpul-kumpul sambil mengobrol. Jalanku memang agak lambat karena tubuhku sedikit menggigil. Ia meraih tanganku,
“Ayo agak cepet! Biar cepet sampe!”
Akupun mempercepat langkah.
“Dari sini naek apa, Kang?”
“Kalau masih ada angkot, ya naik angkot. Kalau ga ada ya naik ojeg.”
Dalam hatiku berdo’a. Semoga masih ada angkot. Tak terbayang malam-malam negini naik ojeg. Tak lama antaranya, kami tiba di tempat angkot dan ojeg biasa mangkal.
“Tuh, kalau jalan, kita naik angkot yang itu”, katanya sambil menunjuk sebuah angkot yang terlihat kosong.
“Enaknya sih naik angkot, biar hemat. Kalo naik ojeg mah ongkosnya bisa sampai 10 kali lipat.”, katanya menjelaskan.
Aku hanya ber’oh’ saja mendengar penjelasannya.
Cukup lama kami menunggu, ternyata tak ada tanda-tanda bahwa angkot akan berangkat. Ia melirikku,

“Ga papa naik ojeg aja?”
Aku agak merengut.
Ia seolah mengerti apa yang kupikirkan “Abis kayaknya angkotnya gak bakal jalan lagi. Ya?”
Selang beberapa waktu, seorang tukang ojeg menawarkan jasanya. Kudengar ia menyebutkan harga jika kami menggunakan jasanya, dan benar saja ternyata mahal sekali. Iapun bertanya lagi padaku,
“Gimana?”
Aku hanya mengedikan bahu pertanda kuserahkan padanya. Akhirnya ia setuju dan memesan dua buah ojeg.
Selang beberapa detik setelah tukang ojeg pergi untuk mengambil motornya, kudengar segerombol orang di belakang tempat ku berdiri. Kudengar seseorang menyapa teman seperjalananku,
“Ke mana A?”
Ia menjawab dengan menyebutkan tempat tujuan kami,
“Oh... hayu atuh! Nih angkotnya mau jalan! Langsung udah banyak penumpangnya.” Ternyata orang yang ramai di belakang tukang angkot tersebut adalah para penumpang.
Kami saling berpandangan, dan bebicara dengan bahasa yang hanya kami yang mengerti artinya.......... Yah, bagaimana lagi, ojeg sudah kadung dipesan. Ia berkata,
”Gak papa naik ojeg aja ya? Kasian udah dipesan.” Walaupun bisa saja kami naik angkot dan meninggalkan tukang ojeg yang sedang mengambil motornya, toh ia tidak akan tau.

Di tengah perjalanan dalam ojeg, aku tak kuasa menahan air mata. Terkesan dengan cara Allah memberikan rizki kepada setiap manusia; kepada tukang ojeg yang kini memboncengku. Semuanya benar-benar rapi dan terencana, dan benar-menar tersadari bahwa Allah tidak pernah terlambat. Andai tukang ojeg ini terlambat beberapa detik saja dalam menawarkan jasanaya pada kami, mungkin malam ini ia tidak akan mengantarkan kami, tidak akan mendapatkan rizkinya dan betapa beruntungnya kami, karena  kamilah perantara rizki mereka malam ini. Subhanallah. Meskipun kami harus mengeluarkan uang dalam jumlah besar, tapi kurasa itu tak ada apa-apanya dibanding kesadaran yang kuperoleh malam itu.

Ojeg yang kutumpangi berhenti, ia turun dan akupun mengikuti. Rapi membayar ongkos, aku kembali dituntunnya melewati sebuah lorong. Rupanya ia tidak lupa bahwa mataku minus, sehingga tanpa diminta ia langsung meraih tanganku dan menuntunku melewati lorong itu. Di ujung lorong ia mengeluarkan kunci dan membuka pintu sebuah rumah. Aku dulu pernah ke rumah itu. Tapi rupanya rumah itu sudah banyak berubah. Kami masuk. Kedatangan kami rupanya membangunkan seseorang, yaitu istrinya.

Oia, mari kukenalkan kau pada istrinya. Ia adalah wanita yang sangat beruntung karena bersuamikan teman seperjalananku malam itu. Wanita itu adalah menantu ibuku.

-Pagaden, 27 Dzulhijah 1432H-

2 komentar:

  1. bikin penasaran Teh..hehe...jadi bacanya sampai akhir..^^
    #btw ini kunjungan pertama aish..InsyaAllah ntar menjelajahi tulisan teteh yang lainnya...hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Eh ada Aish. Syukran sudah berkunjung..Iya nih coba-coba bikin cerita, ternyata hasilnya masih seperti ini, maklumlah masih belajar.

      Hapus