Entah itu kebersamaan yang keberapa kali. Saking seringnya, tak lagi dapat kuhitung.
Aku
tidak ingat betul kapan kami mulai saling mengenal, tapi yang jelas dia
sudah punya posisi tersendiri di hatiku yang rasanya tak mungkin akan
tergantikan oleh orang lain. Siapa dia? Itu mungkin yang ingin kau
tanyakan bukan? Dia adalah 'suami orang'. Ya, aku rasa sebutan itu cocok
untuknya, karena faktanya dia memang sudah menikah dengan seorang
wanita, dan kau perlu tau bahwa wanita itu bukan diriku. Jadi, tidak
salah bukan jika kusebut ia sebagai 'suami orang'? Usia kami memang
terpaut cukup jauh, dia sudah 42 tahun sedangkan aku, baru 22 tahun.
Hari
itu, tepat 9 Dzulhijah, artinya sehari sebelum hari raya terbesar kedua
bagi umat Muslim, kami membuat janji untuk bertemu. Kami memang
dipisahkan ruang, dia berada di Kota Kembang, aku di Kota Nanas, dan
hari itu kami bersepakat untuk mengunjungi Kota Santri.
Selepas
rapi urusan di sekolah tempatku mengajar, aku langsung berkemas untuk
selanjutnya menuju ke Kota Kembang, menemuinya. Tentu saja tak lupa
kukabari padanya bahwa aku siap berangkat. Dia berpesan agar aku
berhati-hati dan dia juga memberi kabar bahwa di Kota Kembang Hujan
deras. Di akhir pesannya, dia menuliskan,
"Neng, Akang nitip dibelikan nanas ya!"
Kujawab, "Tumben amat minta dibawakan nanas? Berapa banyak Kang?"
"Semampunya Neng bawa aja."
"Oke deh!", jawabku.
Di
tengah perjalananku, hujan turun dengan sangat deras. Hal ini membuat
perjalananku sedikit lambat. Karenanya, bisa dipastikan bahwa jam
kedatangankupun mundur dari jam perkiraan sebelumnya.
Sepanjang
perjalananku, hampir setiap 15 menit sekali dia menghubungi ponselku,
via SMS. Protektif sekali, pikirku. Tapi tak urung kunikmati juga
perhatian itu. Jarang-jarang diperhatikan suami orang. Inilah yang aku
suka darinya; perhatiannya, kekhawatirannya padaku, sehingga kadang
mambuat aku lupa bhwa dia adalah suami orang.
“Dah nyampe mana, Neng?"
"Baru turun dari angkot, Kang. Sekarng mau naik elf."
Panggilan
'neng' dan 'kang' biasa kami gunakan untuk memanggil satu sama lain.
Romantis bukan? Percakapan via SMS macam itulah yang menemani
perjalananku sore itu. Jika SMSnya tak segera kubalas, maka dia akan
meneleponku. Tak masalah, karena selain tidur, hal yang biasa kulakukan
dalam sebuah perjalanan adalah ber-SMS atau bertelepon ria. Bukannya
tidak ingin membaca buku atau mengaji Qur'an, tapi bisa jadi karena mata
minusku, aku selalu merasa pusing ketika melakukannya.
Di
tengah perjalanan, aku teringat pesanannya yang memang belum kubelikan.
Di tempat tinggalku tidak ada penjual nanas, adanya di tempat yang akan
kulalui, sehingga mengharuskanku turun dulu dari kendaraan. Tapi
melihat cuaca, sepertinya tidak mendukung jika aku turun. Aku berharap
semoga hujan segera reda, sehingga di tempat berjualan nanas nanti aku
bisa turun dulu.
Tiba-tiba aku diserang kantuk yang luar biasa, sampai akhirnya aku tertidur.
Ketika
terjaga, betapa kagetnya aku, kios-kios buah yang biasa menjual
pesanannya sudash terlewat jauh. Ya, kini aku sudah hampir sampai di
terminal tempatku akan berhenti. Meski aku yakin dia tidak akan
mempermasalahkannya, tapi aku benar-menar ingin menyenangkan hatinya
meskipun hanya dengan sebuah layanan sederhana. Tapi sekeras apapun aku
berpikir, aku tak menemukan jalan keluar. Akhirnya aku menyerah. Segera
kustop sebuah angkot dan aku naik ke dalamnya. Belum seberapa jauh
angkot melaju, kulihat sebuah kios nanas. Kau tentu tahum betapa
bahagianya aku melihat deretan kios itu. Saat itu aku benar-benar merasa
bahwa pertolongan Allah itu sangat dekat. Tapi saat itu juga aku merasa
kasihan pada diriku yang pelupa ini, bagaimana aku bisa lupa bahwa di
sana terdapat kios-kios pedagang nanas, padahal hampir empat tahun aku
ada di sekitar itu. Kios-kios itu memang berdiri di kampusku ketika
masih jadi mahasiswa dulu.
Segera kuminta berhenti pada sopir angkot. Aku turun dan langsung menghampiri deretan kios nanas itu.
“Mangga neng, mau beli yang mana?”, tanya penjaga kios dengan ramah.
Pikiranku langsung teringat pada pesannya, “semampunya Neng bawa aja”.
Aku
tersenyum sendiri, tentu ia tak tega melihatku tertatih-tatuh membawa
banyak nanas kalau ia memesan dlalm jumlah banyak. Segera kupilih
nanas-nanas yang menurutku bagus. Ternyata aku memang hanya kuat membawa
lima buah saja.
Seusai transaksi selesai aku kembali menyetop
angkot. Dan saat itu aku baru sadar bahwa aku belum tau alamat yang akan
kutuju. Segera kuarogoh ponsel di kantong jaketku. Baru saja hendak
mengetik SMS, dia ternyata mmemanggil,
“Ya Kang?”
“Dimana Neng?”
“Baru naek angkot”
“Lama amat? Kenapa?”, kulirik jam di tanganku, ternya memng hampir magrib.
“Hujan Kang, jadi lambat. Kang, Neng turun di mana? Kan belum tau”
“Bilang aja ke supirnya turun di ......” dia amenyebutkan sebuah tempat.
“Ok deeeh. Tungguin ya!”, ucapku manja.
“Nya. Hati-hati, kalo dah nyampe SMS!”
“Sip!”.
Klik.
Obrolan terhenti. Segera kusampaikan alamat yang tadi disebutkannya
pada sopir angkot. Alhamdulillah, sopir angkot tersebut rupanya sudah
cukup mengenal daerah itu.
Sesamapainya di tempat yang
dimaksud, segera kukirim SMS padanya. Lalu aku menunggu sambil duduk.
Tak lama kemudian aku lihat dia datang, lengkap dengan senyum khasnya.
“Yuk!”, ucapnya
Tak
banyak yang ia ucapkan, mungkin dia mengerti kondisiku yang lumayan
lelah. Dia mengambil alih bawaanku dan berjalan masuk. Aku menguntitnya
di belakang. Hmmmm... aku jadi teringat adegan seorang suami ketika
menjemput istrinya setelah pulang dari suatu tempat yang biasa ada di
film atau sinetron. Lagi-lagi aku tersenyum di belakangnya. Mungkin ini
juga yang ia lakukan pada istrinya?
Sesampainya di ruangannya, dia segera bertanya.
“Dah makan?”
“Tadi shaum, tapi udah ta’jil.” Lagi-lagi dia tersenyum.
Segera
ia menuangkan air dan menyodorkannya padaku. Aku tersenyum dan meraih
gelas dari tangannya. Segera kuminum dan kuhabiskan air di gelas itu.
Ketika sedang meneguk, sempat kulirik dia, ternyata dia sedang menatapku
lekat sekali.
“Solat aja dulu, sekalian dijamak sama isya, tuh di
sana.” Ia menunjuk sebuah mushola. Segera kulepas sepatu dan kaos
kakiku yang basah. Kemudian kulihat dia berjalan entah ke mana.
Selesai shalat, aku kembali ke ruangan tadi. Di sana kulihat dua porsi nasi lengkap dengan lauknya.
“Yuk ah makan dulu, anis ini langsung berangkat”.
Tiba-tiba aku teringat pada pesanannya,
“Oia, ini pesanan Akang”, kataku sambil menyodorkan plastik yang beisi nanas. Dia menerimanya.
“Beli berapa?” katanya sambil tersenyum dan mengintip ke dalam plastik tersebut.
“Cuma lima, berat sih.”
“Makasih ya.”
Setalah
itu kami langsung makan malam, dan bersiap untuk segera menuju ke kota
tujuan kami. Setelah semua rapi, kami langsung berangkat. Saat itu waktu
menunjukkan jam 19.30. kami menaiki sebuah angkot menuju terminal.
Sesamapainya di sana, kami mencari kendaraan. Akhirnya kami memilih BIS
BUDIMAN BANDUNG-PANGANDARAN kelas eksekutive. Belum banyak penumpangnya.
Sehingga kami leluasa memilih tempat duduk. Di amemilih satu tempat
tepat di tengah. Dia mempersilakan aku duduk di dekat jendela, kemudian
dia menyususlnya di sampingku. Di luar sana gema takbir mulai terdengar.
“Wah,
takbiran di jalan nih. Paling nyampe jam 01.00-an. Turun dari bis kita
naik ojeg aja, biar cepet tapi kalau masih ada angkot ya ga apaapa
anaika nagkot juga biat hemat. Soalnya ongkos angkot 10 kali lipat
ongkos angkot.” Katanya memaparkan rencana. Aku mengiyakan saja, karena
memang tidak tau-menau soal rute perjalannya.
Ternyata malam ini
bis kelas eksekutive itu penuh sekali, bahkan sampai ada yang berdiri.
Mungkin para penumpang itu berpikiraan sama dengan kami, lebih enak
menempuh perjalanan malam.
Setelah bis penuh, perlahan ia mulai
bergerak meninggalkan terminal. Kami sendiri larut dalam obrolan hangat
dari mulai soal kabar masing-masing, pekerjaan masing-masning bahkan
sampai kepada hal-hal yang menyangkut beberapa kenalan kami. Memnag
cukup lama kami tidak bertemu, sekitar dua bulan lamanya.
Menjelang pukul 22.00, pejalanan terjebak macet yang cukup panjang. Bersamaan dengan itu aku kembali diserang kantuk.
“Kalau ngantuk, tidur aja, nyantai aja, masih jauh kok.”
“Biasanya ada bantal ya?” gumamku. Tiba-tiba dia membuka sleting tasnya dan mengeluarkan sebuah sweater biru.
“Pakai ini aja!”
Aku
menerimanya sambil tersenyum. Dan kupasang sweater itu untuk mengganjal
kepalaku. Rupanya sweater tersebut tak mampu menyamankan tidurku,
sehingga berkali-kali aku mengubah posisi tidurku. Dia melirikku dan
bertantanya,
“Kenapa?”
“Gak enak.”
“Ke sini aja,”
katanya sambil menepuk pundaknya. Akupun menyandarkan kepalaku ke
pundaknya. Hmmm.... lumyan nyaman. Dia kembali menatap lurus ke depan.
Kemudian sepertinya aku terlelap, karena setelah itu tak banyak yang
kuingat.
Aku yang sedang lelap tertidur tiba-tiba terjaga ketika mendengar beberapa suara menjerit. Kurasakan tubuhku oleng, pusing.
“Ada apa???” ucapku tegang sambil memegang erat lengannya. Saat itu kurasakan bis yang kutumpangi diam.
Kulihat
wajahnya juga tegang. Perlahan suasana kembali normal, dan bispun
melaju seperti biasanya. Setelah itu, barulah dia bicara,
“itu, tadi hampir tabrakan. Untung bis ini segera menepi, kalau gak......”
Aku bergidik membayang kalau sampai...... Aku beristigfar berkali-kali.
Sejak
itu aku tidak dapat lagi memejamkan mata. Malah sebaliknya, kulihat
matanya mulai sayu. Dan tiba-tiba kepalanya jatuh di pundakku. Yah,
giliran deh pikirku. Kulirik jam tanganku, menunjuk jam 23. 47.
Pukul
00.12 kami tiba di terminal Tasik. Dinginnya udara dini hari langsung
menyambut ketika kami turun. Suara takbir bersahutan dari tiap penjuru.
Suasana kota Tasik dini hari ternyata masih cukup ramai, mungkin karena
imalam itu adalah malam Hari raya sehingga denyut kehidupan masih ada
walaupun malam hampir meninggal.
Di tepian jalan kulihat
orang-orang masih beraktivitas, ada pedagang, sopir angkot yang mencari
penumpang, bahkan ada juga yang hanya berkumpul-kumpul sambil mengobrol.
Jalanku memang agak lambat karena tubuhku sedikit menggigil. Ia meraih
tanganku,
“Ayo agak cepet! Biar cepet sampe!”
Akupun mempercepat langkah.
“Dari sini naek apa, Kang?”
“Kalau masih ada angkot, ya naik angkot. Kalau ga ada ya naik ojeg.”
Dalam
hatiku berdo’a. Semoga masih ada angkot. Tak terbayang malam-malam
negini naik ojeg. Tak lama antaranya, kami tiba di tempat angkot dan
ojeg biasa mangkal.
“Tuh, kalau jalan, kita naik angkot yang itu”, katanya sambil menunjuk sebuah angkot yang terlihat kosong.
“Enaknya sih naik angkot, biar hemat. Kalo naik ojeg mah ongkosnya bisa sampai 10 kali lipat.”, katanya menjelaskan.
Aku hanya ber’oh’ saja mendengar penjelasannya.
Cukup lama kami menunggu, ternyata tak ada tanda-tanda bahwa angkot akan berangkat. Ia melirikku,
“Ga papa naik ojeg aja?”
Aku agak merengut.
Ia seolah mengerti apa yang kupikirkan “Abis kayaknya angkotnya gak bakal jalan lagi. Ya?”
Selang
beberapa waktu, seorang tukang ojeg menawarkan jasanya. Kudengar ia
menyebutkan harga jika kami menggunakan jasanya, dan benar saja ternyata
mahal sekali. Iapun bertanya lagi padaku,
“Gimana?”
Aku hanya mengedikan bahu pertanda kuserahkan padanya. Akhirnya ia setuju dan memesan dua buah ojeg.
Selang
beberapa detik setelah tukang ojeg pergi untuk mengambil motornya,
kudengar segerombol orang di belakang tempat ku berdiri. Kudengar
seseorang menyapa teman seperjalananku,
“Ke mana A?”
Ia menjawab dengan menyebutkan tempat tujuan kami,
“Oh...
hayu atuh! Nih angkotnya mau jalan! Langsung udah banyak penumpangnya.”
Ternyata orang yang ramai di belakang tukang angkot tersebut adalah
para penumpang.
Kami saling berpandangan, dan bebicara dengan
bahasa yang hanya kami yang mengerti artinya.......... Yah, bagaimana
lagi, ojeg sudah kadung dipesan. Ia berkata,
”Gak papa naik ojeg
aja ya? Kasian udah dipesan.” Walaupun bisa saja kami naik angkot dan
meninggalkan tukang ojeg yang sedang mengambil motornya, toh ia tidak
akan tau.
Di tengah perjalanan dalam ojeg, aku tak kuasa
menahan air mata. Terkesan dengan cara Allah memberikan rizki kepada
setiap manusia; kepada tukang ojeg yang kini memboncengku. Semuanya
benar-benar rapi dan terencana, dan benar-menar tersadari bahwa Allah
tidak pernah terlambat. Andai tukang ojeg ini terlambat beberapa detik
saja dalam menawarkan jasanaya pada kami, mungkin malam ini ia tidak
akan mengantarkan kami, tidak akan mendapatkan rizkinya dan betapa
beruntungnya kami, karena kamilah perantara rizki mereka malam ini.
Subhanallah. Meskipun kami harus mengeluarkan uang dalam jumlah besar,
tapi kurasa itu tak ada apa-apanya dibanding kesadaran yang kuperoleh
malam itu.
Ojeg yang kutumpangi berhenti, ia turun dan
akupun mengikuti. Rapi membayar ongkos, aku kembali dituntunnya melewati
sebuah lorong. Rupanya ia tidak lupa bahwa mataku minus, sehingga tanpa
diminta ia langsung meraih tanganku dan menuntunku melewati lorong itu.
Di ujung lorong ia mengeluarkan kunci dan membuka pintu sebuah rumah.
Aku dulu pernah ke rumah itu. Tapi rupanya rumah itu sudah banyak
berubah. Kami masuk. Kedatangan kami rupanya membangunkan seseorang,
yaitu istrinya.
Oia, mari kukenalkan kau pada istrinya. Ia
adalah wanita yang sangat beruntung karena bersuamikan teman
seperjalananku malam itu. Wanita itu adalah menantu ibuku.
-Pagaden, 27 Dzulhijah 1432H-
bikin penasaran Teh..hehe...jadi bacanya sampai akhir..^^
BalasHapus#btw ini kunjungan pertama aish..InsyaAllah ntar menjelajahi tulisan teteh yang lainnya...hehe
Eh ada Aish. Syukran sudah berkunjung..Iya nih coba-coba bikin cerita, ternyata hasilnya masih seperti ini, maklumlah masih belajar.
Hapus