Kerja sekecil apapun jika dilakukan dengan sungguh-sungguh, percayalah, ia akan menghasilkan dampak yang sangat besar.

Jumat, 27 Juli 2012

Episode 2 (Lebih Banyak, Lebih Baik)

Penolakan yang lalu biarlah berlalu. Yang terpenting adalah masa depan. Itulah yang terus kunatanmkan dalam memoriku pasca penolakan yang kuterima. Ups.. juga mulai ku buang jauh-jauh  kata-kata “penolakan”. Sadis betul terdengarnya. Aku mencoba menanamkan dalam pikiranku, memang tempat terbaikku bukan di sana.

Setelah mendapat SMS itu aku sempat panik. Betapa tidak, beberapa hari lagi sudah masuk ke tahun ajaran baru, kegiatan pembelajaranpun akan segera dimulai. Menurut penerawanganku, tentu saja setiap sekolah akan memaksimalkan penerimaan
guru barunya ketika masa liburan. Hal ini agar ketika pembelajaran dimulai dapat langsung berjalan lancar; tidak lagi terkendala dengan pengajar. Itu artinya pula, ketika sudah memasuki tahun ajaran baru, maka penerimaan guru baru di sekolah-sekolahpun akan ditutup.

Waktu itu tinggal beberapa hari lagi menjelang pembelajaran di tahun ajaran baru dimulai, dan aku merasa bahwa pastilah sekolah-sekolah sudah meutup PGB-nya. Berbekal semangat yang membara, aku mencoba mencari informasi ke sahabat-sahabat terdekat mengenai lowongan mengajar. Aku berfikir, inilah bidangku; mengajar. Karenanya aku gigih mencari tempat mengajar waktu itu. Lagi pula, menjadi pengajar (guru) adalah cita-citaku sejak masih SMP. Alhmadulillah, beberapa teman memberikan informasi tersebut.

Pengalaman adalah guru yang paling baik. Beranjak dari keyakinan itu, aku tak mau agi jatuh ke lubang yang sama. Maka akupun berniat untuk mengajukan lamaran ke beberapa sekolah, agar manakala nanti tidak diterima, setidaknya masih ada peluang di tempat lainnya. Kubuatlah surat lamaran sebanyak mungkin.

Lamaran pertama kutujukkan pada sebuah sekolah yang cukup terkenal di kota Bandung. Hari berikutnya, seorang teman mengirim SMS, isinya berupa info lowongan kerja di luar negeri. Ah aku pikir tidak terlalu menarik, tapi ketika kubaca lebih seksama, ternyata lowongan ini tidak macam para TKI yang ceritanya kian marak di televisi, tetapi ini adalah lowongan mengajar anak-anak Indonesia yang ada di luar negeri. Wah menarik betul, pikirku. Tapi tentu saja tak langsung kuikuti. Bagaimanapaun aku mesti bermusyawarah dulu dengan keluarga, terutama karena tempatnya yang agak jauh, sehingga cukup mengkhawatirkan juga bagiku yang notabene seorang wanita.

Ketika kusampaikan berita ini kepada keluarga, ayahku sontak tak setuju. Mungkin karena aku ini tinggal anak perempuan satu-satunya. Khawatirlah beliau. Tapi entah mengapa dorongan di dirikupun semakin kuat, sehingga ku mencoba bernegosiasi dengan ayahku. Kuajak kakakku untuk turut mendaftar. Siapa tau kami berdua diterima. Kupikir, jika kamu berfua diterima, maka aku akan ada teman di sana dan ayahku tak perlu khawatir. Kakakku setuju dan ayahkupun mengizinkan akhirnya. Lamaran mengajar ke luar negeripun dilayangkan.

Dua lamaran telah terhantar. Kupikir, kalaulah ada informasi penerimaan guru lagi di sekolah manapun itu, aku kan mengirimkan lamaran ke sana. Lebih banyak, lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar