Kerja sekecil apapun jika dilakukan dengan sungguh-sungguh, percayalah, ia akan menghasilkan dampak yang sangat besar.

Kamis, 19 April 2012

Ini Hanya Salah Satu dari Sekian Banyak


Jika suatu waktu kau membeli sebuah barang yang (menurutmu) itu sangatlah mahal, sementara kau termasuk ke dalam orang-orang yang sangat perhitungan dan jarang sekali berbelanja selain yang benar-benar kau perlukan, tapi karena suatu hal, kau dituntut untuk memiliki barang tersebut, maka dipastikan dengan sangat terpaksa kau pasti membelinya juga, kan?

Ya, kau tidak memasukan belanja ke dalam sarana memenuhi kebutuhan tersiermu. Bagimu belanja adalah hanya untuk kebutuhan primer. Karenanya, kau selalu sensitif kepada teman-temanmu yang gemar mengoleksi suatu barang, padahal di rumahnya telah tersimpan lebih dari selusin barang dengan fungsi yang sama dengan kondisi yang masih Ok. Terlebih jika barang tersebut fungsinya hanya sebagai hiasan. Kau selalu tak habis pikir terhadap kebiasaan teman-temanmu itu.

Setelah kau berjuang untuk berkompromi dengan dirimu sendiri, akhirnya kau melangkahkan kaki menuju ke tempat barang tersebut dijual. Kau memberikan syarat bahwa kau harus pandai memilih, harus awas dalam menilai apakah barang tersebut bagus atau jangan-jangan memiliki cacat? Maka kaupun telah merencanakan hari itu khusus untuk barang tersebut. Kau akan berkelana, kalau pelru setiap toko akan kau kunjungi untuk mendapatkan barang yang bagus. Tentu tak lupa kaupun menyuruh dirimu untuk menawar serendah-rendahnya barang tersebut andaikata sang pramuniaga menawarkan harga yang mahal. Sebagai awal, kau ambil telepon genggammu, membuka layar pesan singkat kemuadian jelmarimu lincah mengetikkan pesan,

“Assalamu’alaikum. Apa kabar teman? Eh aku mau tanya, dulu kau beli (aku tau kau tak ingin aku menyebutkan barang tersebut kan? Baiklah, aku takkan menyebutkannya) berapa harganya?”

Kau kirim pesan tersebut, dan kau merasa begitu lega setelah hpmu bergetar menandakan pengiriman berhasil. Selanjutnya kau sabar menunggu, dan kau genggam erat hpmu agar tak telat dalam membaca pesan balasan dari temanmu. Beberapa saat kemudian, kau membuka layar hpmu dengan cepat ketika kau merasa ia menerima sebuah pesan,

“WA’ALAIKUMSALAM. ALHAMDULILLAH BAIK. KIRA-KIRA Rp........................” (lagi-lagi aku tau, kau tak ingin aku menyebutkan harganya kan? Baiklah aku tak akan menyebutkannya, yang jelas kau tersenyum membaca pesan tersebut karena harganya tak melebihi dugaanmu).

Setelah tiba di suatu toko, matamu menangkap barang yang sedang kau cari. Barang tersebut menarik kakimu untuk mendekatinya. Secara pelahan, mulutmu menggumamkan suatu kat kagum,

“Bagus.”

Kau mantap memilihnya. Lalu proses transaksipun berlangsung. Kau mati-matian membujuk sang pramuniaga agar berbaik hati menurunkan harga yang ia ajukan. Kau gunakan kesopananmu untuk membujuknya. Biasalah............ kaupun pernah belajar tentang prinsip ekonomi, yang berbunyi, “Dapatkan barang sebanyak-banyaknya dengan harga serendah-rendahnya”. Sang pramuniaga akhirnya kalah dalam pertarungan tawar-menawar tersebut. Tentu saja, kau pulang dengan hati senang.

Sebelum kulanjutkan, kau harus ingat dengan kata di awal tulisan ini. Ya “Jika”. Janganlah kau lupakan kata itu. Karena dalam tulisan ini, kaulah yang mengalaminya.

Sepulang dari sana, apakah kau akan bersyukur bahwa semuanya berjalan lancar?

Setelah itu kau mulai berbaik hati dengan menerima kehadiran barang tersebut, yang sebenarnya tidak terlalu kau harapkan. Sebagai perkenalanmu, kau bergumam dalam hati bahwa kau akan menjaganya baik-baik.

*****

Saat itu kau pulang dengan menaiki sebuah bis, dan sebagai bentuk penjagaan pertamamu, kau memutuskan untuk menempatkannya di bagasi bis. Ya, saat itu kau berpikir, itulah tempat yang paling aman untuk barang tersebut selama perjalanan. Sang kondektur yang baik hati segera membantumu menaikkan ke bagasi.

Segera kau meminta berhenti pada sopir bis setelah kau berada tepat di depaan gang tempat tinggalmu. Sekali lagi sang kondektur membantumu mengeluarkan barangmu dari bagasi. Kau tidak melihat bagaimana kondektur mengeluarkan barangmu, kau hanya mendapati bahwa barang tersebut telah bertengger di atas jalan. Lalu ia cepat berlalu bersama bis yang tadi kau tumpangi.

Sejanak kau pandangi barang yang baru diturunkan tersebut; masih dengan senyuman senang. Ketika kau hendak membawanya, kau menyadari sesuatu..............

Salah satu bagian yang fungsinya cukup vital dari barang tersebut kini tidak dapat berfungsi. Ia rusak.

Kau terpaku.. Memandangi bis yang sudah jauh meninggalkanmu, menembus malam, menyisakan bagian belakangnya yang kian mengecil dan akhirnya menghilang.

Tak jelas apa yang kau pikirkan malam itu, tetapi sesuatu rasanya menumbuk ulu hatimu, mempercepat denyut jantungmu dan membuat kakimu serasa semu menapaki bumi. Kau lunglai di bangku peristirahatan di pinggir jalan. Beberapa saat kemudian, barulah kau mulai tersadar dan menggumamkan satu pertanyaan,

“Mengapa bisa begini?”

Tanpa kau minta, otakmu menyetel kembali kejadian-kejadian yang terjadi sejak kau memutuskan menyimpan barang tersebut di bagasi. Kau pastikan bahwa barangmu baik-baik saja sebelum ia masuk dalam bagasi. Tapi pikiranmu buntu ketika kau membayangkan barang tersebut ketika di perjalanan. Barulah ketika kau sampai pada adegan sang kondektur menurunkannya dari bagasi, kau menampilkan penayangan ingatanmu dengan mode slowmotion. Kau baru menyadari bahwa ia sempat meraba barang tersebut dengan janggal, ia menyelusuri suatu bagian yang kini kau sadari bahwa bagian yang ditelusurinya itu adalah ia yang kini rusak. Setelah itu, ia bergegas pergi. Dengan sendirinya, kau menyimpulkan sesuatu.

Akankah kau berdo’a, “Ya Allah, selamatkanlah sang kondektur dalam perjalannya malam ini.”? Dalam kondisi seperti itu, mampukah kau berpikir bahwa sang kondektur tak sengaja melakukannya. Ya, ia memang tak sengaja.

Kau pulang dengan gontai. Kendatipun kau berusaha mati-matian untuk berlapang dada, tapi kau masih merasakan sesak di dalamnya.
Kau ingin menyesalinya. Kau ingin menyesali mengapa kau memutuskan untuk menempatkannya di bagian bagasi? Kau ingin menyesali mengapa tidak kau bawa saja ia duduk bersamamu agar kau bisa senantiasa mengawasinya. Tapi sesuatu mencegah peneysalanmu. Kau hanya berharap semoga ia adalah bibit keikhlasan.

*****

Malam itu sepertinya kau sulit memejamkan mata kan? Apakah masih karena kejadian yang baru saja kau alami? Berpikirlah cepat! Tak mungkin kau terus-menerus memikirkannya. Semuanya sudah terjadi.

Tiba-tiba sebuah ingatan mampir ke pikiranmu. Malam itu kau mengingat nama seorang tukang service. Kau raih telepon genggammu dan mulai menjelajah nama-nama yang yang ada di daftar kontaknya. Penuh harap. Tapi sayangnya, kau belum menyimpan kontaknya di hpmu. Kau terdiam lagi. Dan seketika matamu berbinar manakala kau mengingat seseorang yang kau yakini pasti menyimpan no kontak si tukang servis. Dan kau mulai mengetik pesan.....

*****

Kini kau sedang memandangi barang tersebut yang kembali berfungsi dengan baik, meskipun memang tidak sesempurna yang sebelumnya. Tapi kali ini kau benar-benar bersyukur karena kau telah menjadi perantara rizki si tukang servis pada malam itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar