“Sundari....... Bangun....! Sekolaaaaaah!”
Sebuah suara khas terasa sangat
dekat di telingaku. Aku terlonjak kaget. Huh pasti dia lagi. A Rudi, kakak yang
sangat kubenci. Kuucek-ucek mataku
sambil sedikit mengomel,
“Iyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa”,
jawabku kesal.
“Aaaaaaaaa...... Neng kesiangan,
kenapa baru ngebangunin sekarang?”
“Yeee.....udah dibangunin dari
tadi kali. Neng aja yang gak denger. Dasar tumor, ha..ha..ha!” kudengar Aaku berteriak
juga dari ruang dalam.
Aku tak sempat lagi menanggapi
ocehannya, yang kupikirkan sekarang adalah bagaimana caranya agar aku bisa
mandi dengan cepat.
Akhirnya, selesai juga prosesi
mandiku yang super duper cepat.
“Gosok gigi ‘gak?”, godanya sambil
asyik makan jagung bakar dengan santai sambil duduk di ruang tengah.
Aku menjulurkan lidahku, sambil
mengangkat kedua tangan, kurentangkan jarinya. Kedua jempolnya tempelkan di
kedua pelipisku, lalu kugerak-gerakkan jariku yang lainya, sambil
kujulur-julurkan lidahku seranya mengeluarkan bunyi, “Lweeeee...”. kulihat dia
hendak melempariku dengan badul
jagung yang baru saja dihabiskannya, tapi dia kalah cepat karena aku sudah
melesat masuk ke dalam kamar. Sejanak aku heran, kenapa dia belum memakai
seragam? Tapi aku tidak terlalu peduli. Aku bergegas memakai seragam putih-merahku,
menyisir rambutku, mengikatnya dengan tali rambut kesukaanku, lalu kupakai pupur bayi yang dua hari lalu dibelikan
oleh Ibu. Aku bersiap untuk menghadapi hari yang mendebarkan karena pasti akan
telat masuk sekolah.
Setelah rapi, aku berlari keluar,
lalu berteriak memanggil kakak yang amat kusayangi,
“A Yudiiiiiiiiiiiiii.....”
“Uuuuuy..”, balas sebuah suara
berteriak dari belakang rumah. Dengan berlari aku menghampirinya yang sedang
mengelap motor kesayangannya,
“Aa, anterin Neng ke sekolah ya,
kesiangan nih...”, A Yudi bengong lalu tertawa keras.
Tanpa menunggu jawabannya aku
berlari ke dapur menghampiri ibuku. Setiap pagi dan sore, pastilah aku akan
mencari ibuku ke dapur. Waktu-waktu tersebut Ibu memang biasanya menguasai
dapur. Sambil cemberut aku berkata pada ibuku,
“Bu, Neng kesiangan..Kok ‘gak
bangunin sih, kan sekarang jam setengah 7 harus udah di sekolah soalnya tiap
pagi harus nyapu dulu halaman sekolah”.
Ibuku juga tertawa tak kalah
keras dari kakakku, lalu berkata,
“Ucu, mau ke mana magrib-magrib gini?”
Sejenak aku bengong.
“Hah.....?”
Akhirnya perlahan-lahan aku
mengingat semuanya dan menyadari sesuatu. Lalu A Rudi tiba-tiba sudah berada di
dapur, dia tertawa lebih keras lagi sambil menirukan gerakanku tadi.
“Lweee...lweee.lweee..Makanya,
jangan tidur sore-sore. Bisa majnun lho nanti.”
Aku menangis sekeras-kerasnya
untuk menutupi rasa maluku pada A Rudi, kakak yang sangat kubenci.
Begitulah, kuhabiskan masa kecilku di tengah-tengah keluarga yang sangat ramai.
*****
Sundari, nama yang aku rasa
sangat indah yang diberikan oleh kedua orang tuaku. Belakangan aku tahu bahwa
aku adalah anak yang sangat disayangi. Sewaktu mengandung, orang tuaku amat
berharap bahwa anak yang akan lahir adalah perempuan. Mungkin karena dari 8
anak yang telah lahir sebelumku, 7 di antaranya adalah laki-laki, hanya 1 anak
perempuan, karenanya aku adalah anak yang diharapkan. Aku terlahir sebagai anak
bungsu. Semasa kecil, aku selalu merasa terlindungi karena ada 6 kakak
laki-laki yang selalu melindungiku. Aku merasa seperti tuan putri yang memiliki
6 bodyguard.. Ya, kupikir waktu itu Aa-ku hanya 6, karena yang 1 lagi, hm....
aku merasa dia bukan kakakku, kami selalu bertengkar, tentu saja pertengkaran
kami baru akan selesai jika aku sudah menangis. Karenanya semasa itu aku sangat
membencinya.
Itu adalah masa-masa SD kelas 1
sampai kelas 4. Setelah itu, satu per satu Aa-Aaku mulai menemukan tulang
rusuknya yang hilang. Tetehku juga ia akhirnya menemukan pemilik sebagian
tulang rusuk, lalu ia menggenapkannya. Sejak saat itu aku mulai sadar bahwa aku
bukan lagi tuan putri. Aku merasa saat itu tuan putri dalam keadaan terancam
karena para bodyguardnya satu per satu meninggalkannya. Malangnya nasib tuan
putri karena itu artinya dia harus menghadapi tukang sihir itu sendirian. Ya,
saat itu aku menyebutnya (orang yang amat kubenci) dengan sebutan tukang sihir.
Dia adalah Aa yang jarak kelahirannya paling dekat denganku, kami hanya terpaut
empat tahun saja. Tiada hari tanpa bertengkar. Sepertinya itulah yang terjadi
pada kami.
Menginjak usia SMP, aku mulai
berbaikan dengannya. Tepatnya aku yang mulai berbaik-baik padanya, apalagi di
awal usia SMP, aku banyak bertanya ini itu padanya, terutama tentang sekolahan.
Entah bagaimana prosesnya, sejak usia itu aku jadi akrab dengannya, begitu
akrab bahkan sangat akrab. Saking akrabnya, bahkan ketika sampai di rumah,
orang kedua yang kucari setelah ibuku adal dia; ya si tukang sihir itu. Dia telah
menyihir hatiku untuk menyayanginya.
Memasuki usia SMA, aku berpisah
dengannya karena aku harus kost untuk melanjutkan sekolahku. Tapi, setiap
setiap akhir pekan jika aku tidak pulang ke rumah, dia akan mengunjungiku. Menemaniku
untuk menghabiskan akhir pekan.
Ketika aku melanjutkan pendidikan
ke universitas, kedekatan kami hanya bisa berlanjut di telepon dan SMS. Meskipun
begitu, setiap aku pulang kerumah, kami pasti akan pergi ke suatu tempat untuk
berjalan-jalan.
****
Kini, aku sedang merindukannya. Kulihat
kalender, dan perlahan, kuraih hpku, kubuka layar pesan, lalu dengan cepat
kuketikan,
“Assalamu’alaikum.. My hero, happy birthday. I Miss U. ”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar