Pagi itu, sekitar pukul 05.00 telepon genggamku berbunyi
melengkingkan nada pesan. Sebelum aku memutuskan untuk meraihnya,
sempat bertanya-tanya, siapa yang sepagi itu sudah mengirim pesan? Apa
kepentingannya? Membangunkan untuk qiyamulail? Jelas tidak mungkin, jam
berapa ini?! Atau membangunkan untuk subuh? Ah kurang pagi pikirku.
Akhirnya aku meraih dan membuka pesan tersebut. Tentu yang pertama-tama kulihat adalah pengirimnya. Ternyata pengirimnya adalah mas’ulku di suatu wajhihah. Kubaca pesannya, benar-benar SMS karena cukup
pendek untuk ukuran beliau, agak berbeda memang, biasanya jika beliau
mengirim pesan, selalu panjang. Isi pesannya ternyata mengingatkan bahwa
pagi itu kami ada jadwal syuro rutin. “Be on time ya.krn sya ada
MUMAS.qta cm mpe jam 7”. Aku yang memang pagi itu sudah mengazamkan
agar hadir tepat waktu merasa semakin dikuatkan.
Aku berangkat
dengan perasaan riang. Ketika sampai di tempat, ternyata akulah yang
pertama kali datang. Kepagian pikirku. Akhirnya kuputuskan untuk
membaca al ma’tsurat sambil menunggu yang lain. Selang beberapa menit,
mungkin sekitar 10 menit, datang satu lagi anggota syuro, kemudian
menyususl anggota-anggota yang lain. Aku baru sadar bahwa jam memang
baru menunjukkan jam 05.50 sekian menit. Oh benar-benar kepagian.
Seperti biasa, sebelum dimulai kami bercengkrama melepas rindu dan
berbagi cerita. Waktu terus berjalan, semua anggota hampir lengkap, akan
tetapi ada yang ganjil pikirku, mas’ulku sendiri yang meminta
agar on time sampai saat itu belum hadir, padahal aku ingat betul
jadwalnya jam 06.00. Ah tapi hanya sepintas kupikirkan, karena aku kembali asik dengan aktifitas ngobrol dan SMSan. Lama-kelamaan aku disadarkan kembali bahwa sampai saat itu sang mas’ul belum juga tampak.
Mulai ada pikiran protes ‘kemana nih?’, ‘gimana sih’, dll.
Selang
beberapa dari pikiran protesku itu, akhirnya objeknya datang. Seperti
biasanya dengan wajah sumringah. Tapi eits, kok tidak ada permintaan
maaf?
“Kalau di jam ini telatnya baru 5 menit di jam antum gimana? He he” katanya sambil menunjuk jam yang ada di ruangan.
“Saya aneh, kok tidak ada yang konfirmasi saya telat?” katanya sambil merapikan duduknya.
Aku menjawab, “Itu karena kami tidak ingin membebani Teteh, he he he” kataku dengan nada canda dan kerlingan khas dari mata.
Perihal
telat ini tetap ganjil di benakku, bahkan sampai syuro dimulaipun.
Ada sedikit kesal juga, kenapa lempeng sekali dengan kesalahan ini?
Tidak ada tabayun perihal ketelatannya. Ah tapi sudahlah. Hal yang pasti
adalah bahwa ini aneh, tidak biasa, dan ini bukan untuk ditiru pikirku menyimpulkan dan menyudahi penghakiman atas beliau.
Syuro
berjalan seperti biasa, penuh dengan semangat, hidup dan sistematis.
Sampai pada akhirnya ada suatu bahasan yang memporak-porandakan
penghakimanku tadi pada beliau. Memporak-porandakan tapi di sisi lain
membangun.
“Begini, kita harus sadar posisi. Di amanah ini,
teman-teman adalah penguasa, maka ketika dakwah yang berjalan keadaannya
porak-poranda, maka kitalah yang bertanggungjawab atas itu. Saya ngeri
membayangkannya, bla.bla.bla...”
Kemudian sampai pada bagian sharing ada yang bertanya,
“Sebenarnya sejauh apa batasan kita dalam mengetahui kondisi jundi-jundi kita?”
Jawabannya, “Semua
hal tapi ada koridornya. Tetap ada hal-hal yang antum, jangankan antum,
saya juga tidak berhak menanyakannya kepada jundi, yaitu
bla.bla.bla..”.
Giliranku bertanya, “Teh saya masih
bingung dengan strategi untuk menanamkan pemahaman kepada jundi, saya
biasanya melakukan pendekatan bla.bla.bla, tapi hasilnya, bla.bla.bla.
baiknya gimana ya?”
“Macam-macam ‘mas. Kita harus melihat
dulu bla.bla.bla. Caranyapun bisa bermacam-macam. Misalnya ketika kita
ingin menanamkan pemahaman tentang kedisiplinan, atau pemahaman dia
terhadap sami’na wa atha’na sekaligus menguji kekritisan dia dan
menumbuhkan kesadaran atau keikhlasan dia kita bisa lakukan treatment.
Misal kita bilang saja rapat jam segini tapi kitanya coba telat, lihat
reaksinya, apakah ngomel, konfirmasi atau bagaimana. Atau kalau dia
terbiasa telat, kita bisa lakukan begini, misalnya kita janjikan ketemu
jam 07.00, setelah beberapa menit dia tidak datang juga, maka tinggalkan
saja. Kalau dia konfirmasi kenapa tidak ada kita di tempat itu, kita
bilang saja bahwa kita pergi karena dia tak juga datang, bla.bla.bla..”
Ya
Rabbi, ampuni hamba atas penghakiman-penghakiman di awal yang hamba
lakukan kepada beliau meskipun penghakiman tersebut tak kasat mata.
Ternyata ketelatan beliau itu adalah dalam rangka mengajarkan hamba.
Ada
satu hal lagi yang kupikir luar biasa, dan aku yakin ini adalah
hasil dari rencana yang sistematis yang matang. Aku mengajakmu untuk
ikut mengkajinya juga. Andaikan beliau tidak menjelaskan treatment yang
beliau lakukan pada kami, apakah aku akan bisa menggali hikmah? Apakah aku akan menyadari bahwa ketelatan beliau itu adalah sebuah
pembelajaran? Aku pikir tidak! Ketika beliau tidak menjelaskan hal itu,
mungkin sampai saat ini penghakiman atas beliau itu akan tetap bercokol
dalam hati ini. Maka aku sangat mantap mengatakan bahwa ‘ketika kita
melakukan treatment pada yang lain, siapapun itu maka sampaikanlah
hikmahnya setelah kita selesai melakukannya’. Aku banyak menemui bahkan
itu kutemukan pada diriku sendiri bahwa terkadang kita memberikan
treatment kepada yang lain akan tetapi prosedurnya tidak lengkap
sehingga hasilnyapun tidak seperti yang diharapkan, terkadang malah
menghasilkan kekecewaan, kesalahpahaman, atau lebih parah lagi kita
melakukan treatment tanpa sadar akan tujuannya alias refleks; tidak
melalui proses pemikiran yang panjang; hanya bersandar pada perasaan
pribadi; atau treatment yang dilakukan hanya untuk mencari kepuasan
dengan melihat orang lain merasa bersalah, sehingga akhirnya timbulah
yang namanya salah strategi. Na’udzubillah tsuma nau’dzubillah.
Semoga
apapun yang kita lakukan menjadi sebab orang lain memahami kebenaran.
Karenanya, hendaklah kita selalu sadar akan tujuan yang kita lakukan
sehingga kita beraksi berdasarkan tujuan.
Intinya sih sering2 husnudzon sama orang lain. Hehe... Always think positive! ^_^
BalasHapus